ASUHAN KEPERAWTAN KRITIS/ EMERGENCY
PADA KLIEN DENGAN ASMA BRONKIALE
A. Definisi
1. Asma bronkial
Asma adalah penyakitjalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berspon dalam secaa hiperaktif terhadap stimuli tertentu. ( Smeltzer, C . Suzanne, 2002)
Asma adalah penyakit jalan nafas yang tidak dapat pulih yang terjadi karena spasme bdonkus disebabkan oleh berbagai penyebab misalnya alergen, infeksi, latihan. Spasme bronkus meliputi konstriksi otot polos, edema mukosa dan mukus berlebihan dengan perlengketan di jalan nafas pada tahap lanjut. (Hudak, 1997)
Penurunan fungsi paru dan hiperresponsivitas jalan napas terhadap berbagai rangsang. Karakteristik penyakit meliputi bronkhospasme, hipersekresi mukosa dan perubahan inflamasi pada jalan napas.(Campbell . Haggerety,1990)
Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001)
Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya dapat berubah secara sepontan atau setelah mendapat pengobatan,(Tjen Daniel, 1991).
2. Status Asmatikus
Status Asthmatikus merupakan serangan asthma berat yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik ,bila tidak diatasi dengan cepat akan terjadi gagal pernafasan,(Aryanto Suwondo, karnen B. Baratawidjaja, 1995).
B. Etiologi
Dua tipe dasar imunologik dan non imunologik .Asma alergik ( disebut ekstrinsik ) terjadi pada saat kanak – kanak terjadi karena kontak dengan alergen (debu, serbuk, bulu binatang) dengan penderita yang sensitive.
Asma non imunologik atau non alergik ( di sebut instrinsik ), biasanya terjadi pada usia diatas 35 tahun. Serangan dicetuskan oleh infeksi pada sinus atau cabang pada bronchial.
Asma campuran yang serangannya diawali oleh infeksi virus atau bacterial atau oleh allergen. Pada saat lain serangan dicetuskan oleh factor yang berbeda atau juga dapat di cetuskan oleh perubahan suhu dan kelembaban, uap yang mengiritasi, asap, bau – bauan yang kuat, latihan fisik dan stress emosional
C. Manifestasi klinis
1. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
- Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
- Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
- Whezing belum ada
- Belum ada kelainan bentuk thorak
- Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
- BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan
- Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
- Whezing
- Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
- Penurunan tekanan parsial O2
2. Stadium lanjut/kronik
- Batuk, ronchi
- Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan
- Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
- Suara nafas melemah bahkan tak terdengan (silent Chest)
- Thorak seperti barel chest
- Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
- Sianosis
- BGA Pa o2 kurang dari 80%
- Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
- Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik
D. Patofisiologi
1. Patofisiologi Asma bronkiale alergenik
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabkan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut.
Bronkus pada pasien asma mengalami udema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutam eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus diatasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi ditemukan pada pasien asma bronkial adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkus.
Akibat dari bronkospasme, oedem mukosa dan dinding bronkus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (whezzing) dan batuk produktif.
2. Patofisiologi Asma bronkiale Non alergenik
Asma bronkial non alergenik (Asma instrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran pernafasan atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat serta stress psikologik. Serangan asma akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenegik beta dan hiperaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan dari pada adrenergik alfa, pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkokontriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut pula messenger kedua. Bila reseptor dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan meningkatkan ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyccyclic AMP, cAMP ini akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadinya bronkho kontriksi, hipersekresi kelenjar mukus dan oedem kelenjar mukus bronkus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta.
E. Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan spinometri.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma, (Karnen B;1998).
b) Tes provokasi brokial.
Dilakukan jika pemeriksaan spinometri internal. Penurunan FEV, sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum di anggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR 10 % atau lebih,(Karnen B.;1998).
c) Pemeriksan tes kulit.
Untuk menunjukan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh, (Karnen B.;1998).
d) Laboratorium.
(1) Analisa gas darah.
Hanya di lakukan pada serangan asthma berat karena terdapat hipoksemia, hyperkapnea, dan asidosis respiratorik,(Karnen B.;1998).
(2) Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asthma yang berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari adema mukasa, sehingga terlepaslah sekelompok sel – sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk melihat adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik,(Arjadiono T.;1995).
(3) Sel eosinofil
Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000 – 1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan telah tepat,(Arjadiono T.;1995).
(4) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea,(Arjadiono T.;1995).
e) Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya proses patologik diparu atau komplikasi asthma seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektosis dan lain – lain, (Karnen B.;1998).
f) Elektrokardiogram
Perubahan EKG didapat pada 50% penderita Status Asthmatikus, ini karena hipoksemia, perubahan pH, hipertensi pulmunal dan beban jantung kanan . Sinus takikardi – sering terjadi pada asthma.
F. Penatalaksanaan
Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.
2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator.
3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.
G. Pathway (lampiran)
H. Proses keperawatan
1. Pengkajian
a. Primary survey
· Airway
Akumulasi cairan/ darah, benda asing/ sisa makanan, lidah jatuh ke belakang kaji sumbatan jalan nafas.
· Breathing
Ada nafas spontan apa tidak, kesimetrisan dada, kedalaman frekuensi serta irama pernafasan, retraksi otot pernafasan
· Circulation
Nadi radialis cepat, jelas, tidak teraturan tekanan darah, heart rate tinggi
· Disability
Kesadaran, GCS
· Eksposure
Suhu lingkungan, terdapatnya udema/ tidak , ekspresi wajah.
b. Secondary survey
1) Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma, adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kelang ataupun hilang kesadaran.
2) Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang di rasakan klien. Serta riwayat penyakit mata lainya.
3) Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung,rinitis alergi dan fungsi olfaktori
4) Mulut dan laring
Dikaji adanya perdarahan pada gusi. Gangguan rasa menelan dan mengunyah, dan sakit pada tenggorok serta sesak atau perubahan suara
5) Leher
Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakaan, pembesran tiroid serta penggunaan otot-otot pernafasan.
6) Thorak
Paru :
· Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot Interkostalis, sifat dan irama pernafasan serta frekwensi peranfasan.
· Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus.
· Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
· Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan dan Wheezing.
Jantung .
Jantung di kaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas dan hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang meningkat serta adanya pulsus paradoksus.
7) Abdomen.
Perlu di kaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi karena dapat merangsang serangan asthma frekwensi pernafasan, serta adanya konstipasi karena dapat nutrisi.
8) Ekstrimitas.
Di kaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada extremitas karena dapat merangsang serangan asthma.
c. Tertiery survey
1) Spirometri (Tidal volume, kapasitas vital)
2) Pemeriksaan sputum dan pemeriksaan eosinofil total (biasanya meningkat dalam darah dan sputum.
3) Pemeriksaan alergi (Radioallergosorbent Test : RAST) : uji kulit, kadar Ig E total dan Ig E specifik dalam sputum
4) Foto thorak
5) AGD (adanya hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik)
2. Diagnosa dan fokus intervensi
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b. d bronkospasme dan sekresi kental berlebihan
Tujuan: pasien mempertahankan jalan nafas paten
KriteriaHasil :
- Bunyi nafas bersih
- Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal
- Tak ada dispnea
Intervensi:
- Kaji sputum terhadap warna, kekentalan dan jumlah
- Ausultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas tambahan misalnya: mengi, krekels, dan ronchi
- Kaji kualitas dan kecepatan pernafasan
- Kaji frekuensi dispnea: gelisah, ansietas distress pernapasan, penggunan otot bantu
- Beri klien posisi pada ketinggian yang nyaman dan mengoptimalkan pernafasan : tinggikan kepala tempat tidur 60 – 90 derajat, sokong punggung dengan bantal
- Berikan oksigen aliran rendah dengan kateter sesuai pesanan
- Pertahankan/ bantu batuk efektif dan bantu untuk fisioterapi dada
- Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari dan berikan air hangat
- Berikan obat : epinefrin, aminofilin, antihistamin, ekspektoran, kortikosteroid adrenal
- Nebulisasi isoproterenol atau kromolin
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut
Tujuan: pasien mempertahankan pola nafas efektif
Kriteria hasil:
- Sesak berkurang atau hilang, RR 18-24x/menit
- Frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
- Tidak ada retraksi otot pernapasan
Intervensi:
- Kaji tanda dan gejala ketidakefektifan pernapasan : dispnea, penggunaan otot-otot pernapasan
- Pantau tanda- tanda vital dan gas- gas darah arteri
- Baringkan pasien dalam posisi fowler tinggi untuk memaksimalkan ekspansi dada
- Berikan terapi oksigen sesuai pesanan
- Pertahankan patensi jalan nafas
- Berikan obat sesuai indikasi
c. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan sekresi, peningkatan pernafasan, dan proses penyakit.
Tujuan
Klien akan mempertahankan pertukaran gas dan oksigenasi adekuat.
Kreteria hasil
- Frekuensi nafas 16 – 20 kali/menit
- Frekuensi nadi 60 – 120 kali/menit
- Warna kulit normal, tidak ada dipnea dan GDA dalam batas normal
Rencana tindakan
- Pantauan status pernafasan tiap 4 jam, hasil GDA, pemasukan dan haluaran
- Tempatkan klien pada posisi semi fowler
- Berikan terapi intravena sesuai anjuran
- Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 l/mt selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2
- Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda – tanda toksisitas
d. Cemas b.d krisis situasi, kesulitan bernafas, takut serangan ulang
Tujuan : rasa cemas klien menjadi berkurang sampai hilang
KH:
- Klien tampak rileks
- Mengungkapkan perasaan cemas berkurang
- Tanda – tanda vital normal
Intervensi;
- Kaji tingkat kecemasan klien (ringan, sedang, berat)
- Ukur tanda-tanda vital
- Berikan dukungan emosional
- Implementasikan teknik relaksasi : petunjuk imajinasi, relaksasi otot
- Jelaskan informasi yang diperlukan klien tentang penyakitnya, perawatan dan pengobatannya
- Ajarkan klien tehnik relaksasi (memejamkan mata, menarik nafas panjang)
- Menganjurkan klien untuk istirahat
e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas
Tujuan
Pemenuhan kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil
- Klien menghabiskan porsi makan di rumah sakit
- Tidak terjadi penurunan berat badan
Rencana tindakan
- Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan nafsu makan menurun misalnya muntah dengan ditemukannya sputum yang banyak ataupun dipsnea.
- Anjurkan klien untuk oral hygiene paling sedikit satu jam sebelum makan.
- Lakukan pemeriksaan adanya suara perilstaltik usus serta palpasi untuk mengetahui adanya masa pada saluran cerna
- Berikan diit TKTP sesuai dengan ketentuan
- Bantu klien istirahat sebelum makan
- Timbang berat badan setiap hari
f. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan retensi sekresi, batuk tidak efektif dan imobilisasi.
Tujuan
Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria hasil
Tidak ada tanda – tanda infeksi
Rencana tindakan
- Monitor tanda – tanda infeksi tiap 4 jam.
- Gunakan teknik steril untuk perawatan infus. atau tidakan infasif lainnya.
- Pertahankan kewaspadaan umum.
- Inspeksi dan catat warna, kekentalan dan jumlah sputum.
- Berikan nutrisi yang adekuat
- Monitor sel darah putih dan laporkan ketidak normalan
- Berikan antibiotik sesuai dengan indikasi
0 komentar:
Posting Komentar